Oleh : Faisal Riza*
Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) merupakan lembaga pimpinan kolektif yang menjadi lembaga kepercayaan masyarakat untuk membangun kemandirian menuju tatanan masyarakat madani. Olehkarena itu keanggotaan dari lembaga tersebut terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat, perwakilan orang miskin, orang kaya maupun perwakilan dari lembaga-lembaga sosial lainnya yang ada di masyarakat.
Untuk menanggulangi permasalahan kemiskinan tentunya tidak bisa dilakukan secara individu, akan tetapi menanggulanginya harus secara kolektif dengan seluruh komponen masyarakat yang ada, karena untuk menanggulangi permasalahan kemiskinan tidak hanya dilakukan oleh orang yang mengalami permasalahan tersebut tetapi juga orang-orang yang mampu harus terlibat di dalam penanganan masalah ini. Olehkarena itu orang-orang inilah yang menyatukan dirinya dengan ikatan solidaritas kemasyarakatan di dalam satu wadah yang dinamakan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM).
BKM di dalam Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), akan terlalu kecil apabila hanya kita pahami sebagai upaya untuk menyelesaikan salah satu siklus yang ada untuk menanggulangi kemiskinan, tanpa kita harus memperhatikan nilai-nilai yang terkandung di dalam lembaga tersebut agar lembaga itu benar-benar merupakan representasi dari masyarakat yang didasari pada ciri individu yang sukarela, jujur, kesetaraan, kemitraan, inklusif, demokratik, mandiri, otonom, proaktif, bersemangat, saling membantu, menghargai kesatuan dalam keragaman dan kedamaian untuk menuju masyarakat madani.
Membangun semua itu tidak bisa sekedar ”sim-salabim” semuanya bisa terwujud dan sesuai dengan keinginan masyarakat. Hal itu merupakan awal dari pekerjaan yang besar untuk membangun sebuah ”istana megah” yang dapat melindungi, memenuhi kebutuhan dan dapat membanggakan orang-orang sekitarnya yang merasa memiliki istana tersebut. Membangun sebuah lembaga yang mengutamakan kepentingan masyarakat dan melakukan pemberdayaan kepada manusia-manusianya jauh lebih ”sulit” dari membangun ”istana megah” karena tanpa memahami secara utuh substansi kelembagaan masyarakat, maka akan mengalami kekecewaan terhadap lembaga yang dibentuk.
Membangun sebuah lembaga (BKM) yang benar-benar representatif, manjadi lembaga amanah masyarakat dan mengakar di masyarakat adalah sebuah pekerjaan yang harus melibatkan partisipasi masyarakat secara keseluruhan. Jika tidak melibatkan partisipasi masyarakat, maka siap-siaplah masyarakat untuk menerima munculnya sebuah “lembaga kepentingan” yang dilahirkan dari hasil ”tunjuk sana- tunjuk sini”, ”pilih sana- pilih sini” dan didasari atas prinsip ”suka atau tidak suka” seperti yang selama ini dipertontonkan oleh elit-elit dalam satu komunitas.
Yang dipilih dan diundang adalah orang-orang tertentu saja, bukan atas dasar demokrasi dan transparansi kepada masyarakat atas pemilihan itu. Sehingga orang-orang yang terpilih di dalam lembaga tersebut bukan cerminan dari keinginan masyarakat, akibatnya masyarakat tidak percaya dan tidak merasakan manfaat dari adanya lembaga tersebut yang seharusnya memperjuangkan, melindungi dan mengayomi masyarakat.
Oleh karena itu, melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) Penanggulangan Kemiskinan di perkotaan (P2KP) kita harus lebih serius ”mencari mutiara terpendam” untuk membangun sebuah lembaga yang dinamakan Badan keswadayaan Masyarakat (BKM). Mutiara-mutiara yang terpendam di dalam ”kubangan” masyarakat adalah orang-orang yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan. Kecerdasan, kearifan, keuletan, kesabaran dan tentu saja kejujuran dan keikhlasan merupakan pancaran mutiara yang melekat pada diri seseorang.
Sebelum membangun sebuah lembaga BKM dan akan melakukan pemilihan orang-orang yang memegang amanah di lembaga tersebut, diperlukan pemahaman tentang nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai kemasyarakatan. Hal ini harus dibicarakan habis-habisan pada Pemetaan Swadaya khususnya dalam kajian kepemimpinan dan kelembagaan atau melakukan review kelembagaan. Jika tidak serius dilakukan, maka akan muncul orang-orang yang menginginkan BKM menjadi milik pribadi atau kelompok yang hanya mementingkan diri pribai dan kelompok. Disinilah akan muncul kebijakan BKM yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin.
Disadari atau tidak carut marutnya kehidupan masyarakat yang mengalami kemiskinan adalah karena menyusutnya nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan. Seorang pemimpin/pengambil kebijakan tidak akan berlaku curang jika ia memiliki pancaran nilai-nilai tersebut. Banyak program pemberdayaan yang digulirkan ke masyarakat ternyata belum menunjukkan dampak yang berarti untuk perubahan kehidupan. Jangankan mandiri, untuk menjadi masyarakat yang sudah mampu saja masih jauh dari harapan. Masih banyak masyarakat yang mengeluh bahwa kegiatan/bantuan yang diberikan kurang memberi manfaat untuk kehidupan selanjutnya karena lembaga dan oknum yang dipercaya sebagai pelaksana program telah berlaku curang, khianat dan menyakiti hati masyarakat.
Ternyata selama ini kita telah mengabaikan nilai-nilai luhur yang ada di dalam diri setiap manusia yang akhirnya harus dibayar mahal dengan kemiskinan dan kemelaratan. Kita asyik mementingkan diri sendiri, memuaskan kebutuhan sesaat, serakah, curang dsb. Hingga kita lupa menggali, mencari, menemukan dan mengangkat kepermukaan nilai-nilai luhur bak mutiara yang selama ini terpendam di dalam kubangan masyarakat untuk dijadikan dasar dalam melakukan pemberdayaan untuk mengembangkan potensi diri dan potensi alam sebagai modal menuju kesejahteraan. Dan kita juga lupa bahwa untuk merubah kehidupan dan menyelesaikan persoalan ketidakmampuan masyarakat menjadi mampu dan akhirnya mandiridi tidak bisa dengan sendiri, tetapi harus bersatu dan berkumpulkan dalam satu ”istana megah” yaitu BKM sebagai representasi dari masyarakat.
* SF Tim 4 Koorkot 3 Tanjungbalai KMW 5 Sumut
0 komentar:
Posting Komentar